Kelompok Sipil Dorong “Pendekatan Humanis” untuk Pengguna Narkoba

Bagikan:

Facebook
Twitter
WhatsApp
Kelompok masyarakat sipil menilai pendekatan hukum kepada pengguna narkoba selama ini tidak efektif. Mereka pun mengusulkan 'pendekatan humanis' yang sebetulnya sudah tercantum dalam UU Narkotika.
Divisi Narkotika Polda Metro Jaya bersiap untuk memusnahkan narkoba yang terdiri dari 362,45 kilogram sabu, 1.052.000 butir ekstasi, dan 118,27 kilogram ganja di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng 5 Juli 2012. (Foto: REUTERS/Supri)

VOA — Aktivis Aksi Keadilan Indonesia, Bambang Yulistyo Tedjo, menyaksikan langsung bagaimana pidana penjara gagal mengurangi kecanduan narkoba. Pada 2013, dia menyaksikan dua mahasiswa masuk penjara karena kasus narkoba di Rutan Wirogunan, Yogyakarta.

“Kalau dari adiksinya sih, dia belum kecanduan karena dia bisa make sebulan sekali kek atau pas lagi ulang tahun. Apesnya, dia tertangkap dan kena pasal sapu jagat. Mau nggak mau, (dia) harus menjalani hukuman empat tahun,” kisah Tedjo dalam satu diskusi, Sabtu (22/8) siang.

Namun, ujar Tedjo, di dalam penjara, kedua mahasiswa malah bertemu napi yang merupakan kurir, bandar, bahkan produsen narkotika. Dua mahasiswa tersebut pun jadi lebih sering menggunakan narkotika dan jadi kecanduan.

Aktivis Aksi Keadilan Indonesia, Bambang Yulistyo Tedjo dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

“Penjara tidak membuat (tahanan menjadi) lebih baik. Tidak menimbulkan efek jera juga. Sudah menjadi rahasia umum, justru di dalam penjara, peredaran narkoba sangat mudah dan marak. Ini nggak menyelesaikan masalah,” tambahnya.

Situasi seperti ini seharusnya bisa dicegah, menurut Tedjo, seandainya kedua mahasiswa pengguna narkoba itu masuk program rehabilitasi dan bukan penjara. Namun, ia menambahkan, polisi lebih suka menggunakan pasal-pasal penjara ketimbang pasal rehabilitasi dalam UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

“Dari pihak aparat penegak hukum, lebih populis lah dengan pasal-pasal yang mempidanakan, pasal 111, 112, dan 114. Dan akhirnya dampak yang paling terasa adalah menumpuknya pengguna napza di dalam lapas,” ungkapnya.

Seorang petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang menyiap paket-paket metamfetamin atau sabu-sabu yang akan dimusnahkan di Jakarta, 4 Mei 2018. (Foto: Reuters)

Pengguna Narkoba Masih Disamakan dengan Pengedar

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Sri B Praptadina, mengatakan masih banyak pengguna narkoba yang disamakan dengan pengedar. Padahal, menurutnya, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung sudah mengatur bahwa pengguna narkoba dikirim ke tempat rehabilitasi.

Hal ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 03 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, dan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial di dalam Sistem Peradilan Tindak Pidana Narkotika.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Sri B Praptadina, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

“Itu menempatkan penyalahguna ke tempat rehab dan mereka mengatur hal tersebut berdasarkan gramatur yang digunakan. Tapi ternyata dalam beberapa riset yang dilakukan teman-teman di isu narkotika, penggunaan SEMA dan SEJA ini belum optimal,” tandasnya.

Praptadina mengutip riset Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang mengungkap bahwa pengguna narkoba hampir pasti kena penjara, meskipun ada pilihan rehabilitasi. Riset ICJR pada 2017 itu mengungkap 48% jaksa menggunakan pasal pemenjaraan (pasal 111/112) dibanding 33% yang menggunakan pasal rehabilitasi (pasal 127). Sedangkan 90% tuntutan JPU adalah pidana penjara dan hanya 10% yang menuntut rehabilitasi. Angka ini ditemukan ICJR lewat pemeriksaan 32 putusan kasus narkotika di PN Surabaya.

Selain praktik di lapangan itu, tambah Praptadina, pasal 111 sampai 114 UU narkotika pun dinilai menimbulkan multi-interpretasi. Padahal, menurutnya, sebuah pasal haruslah jelas sesuai prinsip lex certa.

“Kalau perumusannya bisa mengacu pada ketentuan, ini harusnya jadi safeguard pengguna narkotika untuk tidak lagi dikenakan pasal 111 sampai 114,” ujarnya menggarisbawahi.

Paradigma Baru: Fokus pada Fungsi Sosial

Rumah Singgah PEKA, yang menyediakan layanan rehabilitasi, menyatakan perlu ada paradigma baru dalam rehabilitasi narkotika di Indonesia. Direktur Rumah Singgah PEKA, Sam Nugraha, mengatakan program rehab di Indonesia masih berfokus supaya pengguna lepas total dari obat (full abstinence). Padahal, menurutnya, fokus ini berisiko besar untuk gagal.

“Kenapa lebih besar? Karena tingkat relapsnya tinggi. Mau programnya apapun itu, tingkat relaps itu akan selalu tinggi. Sudah pasti akan relaps, di angka secara statistik, secara besar pasti akan terjadi pemakaian lagi,” pungkasnya dalam kesempatan yang sama.

Sebaliknya, dia mengusulkan rehabilitasi yang berfokus pada apakah pengguna narkoba tersebut bisa berfungsi secara sosial atau tidak. Hal ini dilihat berdasarkan 11 indikator yang tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th Edition (DSM V).

Direktur Rumah Singgah PEKA, Sam Nugraha, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

“Ada gangguan (fungsi sosial) nggak? Kalau nggak ada gangguan, kan orang ini fungsional. Tapi kalau ada gangguan, itulah yang coba kita address,” tambah Sam.

Jika pun orang itu menggunakan narkotika kembali, penggunaan itu jangan dilihat sebagai kegagalan. Justru, menurut Sam, itu perlu dilihat sebagai proses transisi untuk lepas sepenuhnya.[rt/ka]

 

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Rio Tuasikal

Leave a Comment