Rilis Pers AKSI – Antara 26 Juni, Pandemi, dan Ma’ruf Amin: Mendesaknya Dekriminalisasi Pemakai Narkotika!

Bagikan:

Facebook
Twitter
WhatsApp
Revisi UU Narkotika menjadi sengat penting. Usulan untuk revisi UU ini telah sekian kali masuk menjadi prolegnas, namun sejauh ini tidak pernah secara serius dieksekusi oleh Parlemen dan Pemerintah. Justru kesalahan regulasi saat ini dilanjutkan dengan memasukkan narkotika ke dalam RKUHP, hal yang jelas adalah inisiatif yang salah kaprah.

Jakarta, 26 Juni 2020 – Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) adalah sebuah organisasi berbasis komunitas pengguna napza yang secara aktif melakukan kerja-kerja advokasi kasus dan kampanye untuk mendorong perubahan kebijakan narkotika.

Pada peringatan 26 Juni tahun ini, yakni Hari Narkotika Internasional, AKSI mendorong Pemerintah dan Parlemen Indonesia untuk segera mereformasi kebijakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya terutama dalam aspek pemenjaraan masif.

Pada hari ini, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan bahwa penganan Covid-19 dan narkotika membutuhkan standar yang sama untuk memberi jaminan dan melindungi hak-hak masyarakat agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal. Ia juga mengatakan bahwa kedua hal tersebut masuk mulai dari negara hingga merambah ke unit terkecil masyarakat yakni keluarga. Bapak Ma’ruf Amin mungkin tidak menyadari bahwa ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Orang dengan Covid-19 dirawat dan bahkan diberi kesempatan untuk merawat diri sendiri di rumah sedang pemakai narkotika harus dipenjara dan direhabilitasi paksa.

Kampanye aparat penegak hukum bahwa pemakai narkotika akan direhabilitasi menjadi omong kosong belaka jika dihadapkan dengan kenyataan di lapangan. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki ancaman pidana untuk penguasaan (minimal 4 tahun) dan pembelian (minimal 5 tahun) narkotika. Padahal keduanya adalah aktivitas yang harus dilakukan oleh seorang pemakai narkotika sebelum mengonsumsinya. Bahkan Pasal 127 yang digadang-gadang sebagai “pasal rehabilitasi” pun masih memiliki muatan pidana di dalamnya (maksimal 4 tahun).

Akses kesehatan bagi pemakai narkotika tidaklah menjadi sebuah hak warga negara yang pasti dan kerap dipertaruhkan pada kebaikan hati aparat dalam menginterpretasi undang-undang. Inkonsistensi ini tercermin pada beberapa figur publik yang akhir-akhir ini terjerat kasus narkotika. Kita bisa lihat Jefri Nichol dan Dwi Sasono dipulangkan tapi kasus Roy Kiyoshi dan Lucinta Luna terus dilanjutkan ke persidangan. Di sisi lain, untuk Indra J Piliang, Andi Arief, dan anak Henry Yosodiningrat semuanya cepat dipulangkan. Situasi ini bertolak belakang bila kita bandingkan dengan lebih dari 43 ribu pemakai narkotika yang ada di balik jeruji saat ini, berdasarkan data Sistem Database Pemasyarakatan dari Ditjenpas untuk bulan Mei 2020. Angka tersebut bahkan bisa jauh lebih besar mengingat banyak pemakai narkotika tersangkut dengan pasal penguasaan dan pembelian.

Oleh karena hal itulah, revisi UU Narkotika menjadi sengat penting. Usulan untuk revisi UU ini telah sekian kali masuk menjadi prolegnas, namun sejauh ini tidak pernah secara serius dieksekusi oleh Parlemen dan Pemerintah. Justru kesalahan regulasi saat ini dilanjutkan dengan memasukkan narkotika ke dalam RKUHP, hal yang jelas adalah inisiatif yang salah kaprah.

Terkait Covid-19 yang masih menjadi momok untuk Indonesia saat ini, AKSI mendukung penuh upaya percepatan asimilasi yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM dan berharap agar program ini terus dilakukan selama pandemi berlangsung. AKSI bahkan mendorong Kemenkumham untuk melanjutkan usulan revisi PP No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Karena kerap dijerat dengan pasal pembelian dan penguasaan, maka banyak pemakai narkotika yang secara hukum dipandang sebagai “bandar” dan dihukum 5 tahun penjara atau lebih. Hal ini kemudian menyulitkan pemakai narkotika untuk memperoleh remisi atau pembebasan bersyarat. Jika hal ini diubah, maka percepatan asimilasi dari Kemenkumham akan jauh lebih berdampak lagi. Saat ini (data Mei), jumlah tahanan dan narapidana untuk kasus narkotika mencapai angka 127.391 orang. Angka tersebut sangatlah tipis dari kapasitas penuh seluruh rutan dan lapas di Indonesia, yakni 132.494 orang, dan lebih dari setengah jumlah tahanan dan narapidana saat ini, 229,679 orang.

Di saat yang sama kami juga menyesalkan tindakan aparat penegak hukum yang masih melakukan penangkapan pada pemakai narkotika selama masa pandemi. Petugas yang melakukan penangkapan pun dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD). Hal itu tentu dapat dilihat sebagai kesia-siaan kebijakan publik karena sepatutnya anggaran dan fokus pemerintah diarahkan pada hal-hal yang jauh lebih relevan untuk mengentaskan pandemi. Terus berlansungnya penangkapan dari aparat penegak hukum tentu kontra produktif dengan usaha Kemenkumham untuk mengurangi beban rutan dan lapas dalam masa pandemi ini.

Orang yang ada di rutan dan lapas yang kelebihan beban saat ini sangat berisiko terhadap Covid-19 karena tidak mungkinnya mereka untuk melakukan jaga jarak secara fisik, situasi rutan dan lapas yang kerap tidak higienis, serta kurangnya daya tahan tubuh akibat stres dan nutrisi buruk. Meski kunjungan keluarga sedang dibatasi, namun keluar masuknya pegawai rutan dan lapas serta masih dilanjutkannya beberapa persidangan tentu membuat risiko ini terus muncul. Persoalan Covid-19 di rutan dan lapas hendaknya tidak dipandang sebelah mata karena hal ini juga bisa berdampak pada populasi umum, yang mana Pemerintah sudah kewalahan karenanya.

Kesalahan pemenjaraan masif yang diakibatkan oleh UU Narkotika sudah sepatutnya tidak dilanjutkan oleh RKUHP dan tidak pula ditiru oleh RUU Larangan Minuman Beralkohol. Salah satu pasal di RUU Minol melarang konsumsi minuman beralkohol dan mengancamnya dengan penjara 3 bulan sampai 2 tahun. Data Kemenkes 2007-2008 menunjukan jumlah prevalensi orang yang minum alkohol di Indonesia mencapai 4,6-4,7 persen populasi. Tingkat stres warga yang meningkat selama pandemi juga meningkatkan konsumsi alkohol global. Di sisi lain, WHO menyatakan bahwa peningkatan konsumsi alkohol dapat melemahkan sistem imun yang dibutuhkan untuk menangkal infeksi Covid-19. Di situasi yang rumit seperti ini, tepatkah kita mengedepankan penjara sebagai solusi? Sepertinya tidak.

Narahubung:
Yohan Misero – Koordinator Advokasi dan Kampanye AKSI

Leave a Comment