Rilis Pers AKSI – Kriminalisasi Ganja Medis: Waktunya Perubahan

Bagikan:

Facebook
Twitter
WhatsApp
Hal yang dilakukan oleh Reinhart ini semata adalah upayanya untuk bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya hukum pidana merangsek masuk ke dalamnya. Hal yang sudah kita lihat mengobrak-abrik hidup keluarga Fidelis Arie dan Yeni Riawati pada 2017 lalu.

Jakarta, 10 Juni 2020 – Kasus yang sedang dihadapi oleh Reinhart Rossy N. Siahaan saat ini menunjukan kembali pada masyarakat gagalnya kebijakan narkotika Indonesia untuk memenuhi hak atas kesehatan warga negaranya.

Reinhart Rossy N. Sahaan menggunakan ganja untuk membantunya mengatasi gangguan saraf yang ia alami sejak 2015. Saat kambuh pada 2018 lalu, ia kemudian berpaling pada ganja untuk mengobati dan mengurangi rasa sakit yang ia alami.

Sayangnya, pemanfaatan narkotika Golongan I, di mana ganja digolongkan, untuk kesehatan dilarang oleh Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sesungguhnya, hal ini bertentangan dengan pertimbangan pembentukan UU Narkotika itu sendiri yakni meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Bahkan Pasal 4 UU Narkotika menyebutkan bahwa tujuan undang-undang ini ialah menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

Hal yang dilakukan oleh Reinhart ini semata adalah upayanya untuk bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya hukum pidana merangsek masuk ke dalamnya. Hal yang sudah kita lihat mengobrak-abrik hidup keluarga Fidelis Arie dan Yeni Riawati pada 2017 lalu.

Namun demikian, melihat progres persidangan sejauh ini, apresiasi patut dilayangkan pada pembelaan yang dilakukan tim pengacara Harie Nugraha Christen Lay dan Bandri Jerry Jacob serta Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini. Tim Jaksa Penuntut Umum memilih Pasal 127 sebagai pasal yang dianggap terbukti dan meminta pemenjaraan selama satu tahun. Meskipun masih menuntut ancaman penjara, harus diakui bahwa angka itu rendah dibanding dengan angka tertinggi Pasal 127 yakni 4 tahun. Jaksa Penuntut Umum pada kasus ini juga cukup bijak karena menuntut dengan pasal pemakaian untuk diri sendiri, bukannya Pasal 111 tentang penguasaan ataupun Pasal 114 tentang pembelian. Hal ini cukup baik karena artinya Jaksa Penuntut Umum fokus pada pemakaian narkotikanya sebagai sentral dari kasus ini.

Terlepas dari itu, berulangnya kasus-kasus semacam ini sepatutnya memberi inspirasi bagi Parlemen untuk segera mereformasi kebijakan narkotika Indonesia dalam rangka memberi ruang pada pemanfaatan narkotika untuk kepentingan medis, terkhusus ganja. Pemerintah juga dapat membuat inisiatif untuk memulai penelitian tentang ganja medis dan bahkan membuat kebijakan untuk tidak menjerat pidana orang-orang yang memakai narkotika, termasuk untuk tujuan medis. Penghilangan intervensi pidana ini penting agar stigma pada pemakai narkotika tidak langgeng dan negara juga bisa mendapatkan lebih banyak data terkait pemakaian narkotika di masyarakat.

Untuk persoalan ganja, Indonesia sepatutnya segera mengejar negara-negara tetangga yang sudah memiliki skema pemanfaatan ganja untuk medis, seperti Thailand dan Korea Selatan. Malaysia bahkan sudah amat intens mendiskusikannya di antara parlemen, pemerintah, dokter-dokter, dan masyarakat sipil. Pada 2019 lalu, WHO bahkan mengeluarkan rekomendasi untuk mengklasifikasi ulang golongan ganja agar dapat digunakan untuk kesehatan. Mau sejauh apa Indonesia ketinggalan?

Narahubung:
Yohan Misero (Koordinator Advokasi dan Kampanye AKSI)

Leave a Comment