Rilis Pers AKSI – Mempertanyakan Sikap Indonesia atas Rekomendasi WHO untuk Ganja Medis

Bagikan:

Facebook
Twitter
WhatsApp
Status ganja yang legal justru memberi kesempatan bagi negara untuk meregulasi standar yang dibutuhkan. Legalitas ganja amat dibutuhkan agar pusat penelitan maupun perusahaan farmasi yang ada di Indonesia dapat melakukan rekayasa ataupun penyesuaian lain yang diperlukan untuk memenuhi standar ganja yang dapat dimanfaatkan secara medis.

Jakarta, 27 Juni 2020 – Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) adalah sebuah organisasi berbasis komunitas pengguna napza yang secara aktif melakukan kerja-kerja advokasi kasus dan kampanye untuk mendorong perubahan kebijakan narkotika.

Kemarin, AKSI memperoleh cuplikan hasil rapat koordinasi beberapa Kementerian dan Lembaga terkait rekomendasi WHO (World Health Organization) untuk mendeklasifikasi ganja dan beberapa senyawanya dalam penggolongan narkotika internasional. Cuplikan itu kemudian diamini oleh sebuah artikel Kumparan berjudul “Polri hingga BNN Tetap Tolak Legalisasi Ganja Meski untuk Kepentingan Medis.”

Agar status ganja dalam konteks hukum internasional berubah, rekomendasi WHO akan dibawa ke mekanisme voting Commision on Narcotic Drugs di Vienna selanjutnya. Masifnya perdebatan di luar sidang pada CND tahun ini, Maret lalu, membuat voting ini ditunda.

Ada beberapa alasan yang disampaikan oleh Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri, Brigjen Pol Krisno Siregar, untuk menolak rekomendasi WHO tersebut.

Menurut Krisno, ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18%) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif. Ganja untuk medis seharusnya telah melalui proses rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah. Di samping itu, ganja sangat mudah tumbuh di hutan atau pegunungan Indonesia. Krisno juga menilai bahwa rekomendasi legalisasi ganja oleh WHO justru akan menimbulkan permasalahan di Indonesia seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya penggunaan ganja karena di Indonesia, menurut Krisno, ganja lebih sering digunakan untuk tujuan rekreasional.

Bagi AKSI, alasan-alasan ini sangatlah tidak masuk akal dan mengada-ada. Pertama, tidak jelas riset atau penelitian mana yang dirujuk oleh Pemerintah dalam hal ini untuk menunjukkan kandungan ganja yang ada di Indonesia. Jika Pemerintah meneliti sendiri, besar harapan agar masyarakat sipil juga dibukakan pintu kesempatan yang serupa agar bisa meneliti ganja untuk kepentingan medis. Jika Pemerintah melihat hasil penelitian dari luar negeri, hendaknya Pemerintah juga melihat dan mempertimbangkan sejumlah penelitian lain yang menunjukkan manfaat ganja untuk medis.

Kemudian, kandungan THC yang tinggi tidak serta merta menunjukkan bahwa ganja tidak bernilai medis. Sebagai contoh, hal ini bisa dilihat dengan adanya Dronabinol, sebuah merk dagang dari sebentuk THC yang spesifik. Dronabinol berguna menambah nafsu makan, antiemetik, dan mengurangi sleep apnea (gangguan bernafas saat tidur). Dronabinol disetujui oleh FDA (BPOM Amerika) untuk orang dengan HIV/AIDS yang kesulitan makan serta untuk mengurangi mual dan muntah terkait kemoterapi.

Status ganja yang legal justru memberi kesempatan bagi negara untuk meregulasi standar yang dibutuhkan. Legalitas ganja amat dibutuhkan agar pusat penelitan maupun perusahaan farmasi yang ada di Indonesia dapat melakukan rekayasa ataupun penyesuaian lain yang diperlukan untuk memenuhi standar ganja yang dapat dimanfaatkan secara medis. Mudahnya ganja tumbuh di negeri ini justru memudahkan negara, pusat penelitian, dan perusahaan farmasi untuk mencapai tujuan pemanfaatan ganja untuk medis, hal yang secara tidak langsung diakui oleh Krisno.

Terakhir, kekhawatiran soal bocornya distribusi menunjukkan kemalasan berpikir dari Pemerintah terhadap persoalan ini. Tentu distribusi obat harus dijaga agar sampai pada yang betul-betul memerlukan, namun kebutuhan publik akan skema kebijakan ganja medis pun harus diperhatikan. Sudah ada Rossy, Fidelis Ari, dan Yeni Riawati yang menderita karena tidak hadirnya negara dalam kebijakan ganja medis. Daftar nama itu tidak perlu diperpanjang lagi.

Narahubung:
Yohan Misero (Koordinator Advokasi dan Kampanye AKSI)

Leave a Comment