Rilis Pers Koalisi – Figur Publik RA Kembali Ditangkap: Kegagalan Kebijakan Narkotika

Bagikan:

Facebook
Twitter
WhatsApp
A VPN is an essential component of IT security, whether you’re just starting a business or are already up and running. Most business interactions and transactions happen online and VPN

Pemberitaan media menunjukkan bahwa dari 2019 hingga September 2020 ini setidaknya terdapat sekitar 31 figur publik yang terjerat dalam kasus narkotika, diantaranya adalah RA. Penangkapan RA yang terlibat kasus narkotika pada Jumat, 4 September 2020, adalah yang kedua kali, setelah sebelumnya di tahun 2016 menghadapi persoalan serupa. Sebelumnya, terdapat TP (2 kali), RR (3 kali), dan J (2 kali) yang kembali berurusan dengan hukum terkait kasus narkotika.

Berulangnya orang-orang yang menggunakan narkotika diproses secara hukum adalah bukti nyata gagalnya rezim kebijakan narkotika saat ini yang tidak menunjukan signifikansi perbaikan situasi. Setidaknya ada beberapa hal yang patut disorot:

Pertama, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika) mengedepankan metode pemenjaraan terhadap orang-orang yang terlibat dengan narkotika. Kebutuhan pengguna narkotika untuk memulihkan kesehatan menjadi tidak terpenuhi dan hal ini membahayakan kondisi kesehatan pengguna narkotika;

Kedua, UU Narkotika membagi 2 (dua) jenis rehabilitasi yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi orang yang terlibat dengan narkotika. Skema rehabilitasi ini diterapkan untuk: a. pengguna narkotika yang melapor status adiksinya kepada institusi rehabilitasi; b. pengguna narkotika yang ditangkap kemudian dilimpahkan ke tempat rehabilitasi; dan c. pengguna narkotika yang mengikuti rehabilitasi karena mendapatkan vonis pengadilan. Skema ini memperlihatkan betapa upaya rehabilitasi ini masih dilihat sebagai penghukuman. Hal ini tidak selaras dengan aspek kesukarelaan dalam hak atas kesehatan. Ilmu pengetahuan modern juga menunjukkan bahwa intervensi kesehatan yang dilakukan secara sukarela memiliki kemungkinan sukses yang lebih besar;

Ketiga, UU Narkotika melimitasi pengguna narkotika mengikuti rehabilitasi medis sebanyak 2 (dua) kali masa perawatan. Regulasi ini tidak mempertimbangkan situasi adiksi yang berpotensi kambuh (relapsing) kedepannya. Kebijakan Indonesia hari ini terlalu fokus pada tujuan abstinen (tidak memakai sama sekali) yang mana menutup mata pada perjuangan seseorang dalam perjalanan pemulihannya;

Keempat, ada tantangan besar bagi orang-orang yang bekerja di bidang di rehabilitasi hari ini karena pergeseran tren pemakaian dari heroin ke sabu-sabu. Oleh karena itu, harus ada penyesuaian metode dan pendekatan pada upaya-upaya Pemerintah – tidak hanya dari aspek rehabilitasi tapi juga pencegahan. Indonesia masih terlihat gagap untuk menghadapi merebaknya sabu di masyarakat dan akhirnya menunjukkan pada publik hal yang paling mudah untuk dilakukan: menangkap pengguna.

Berangkat dari uraian di atas, kasus hukum pengguna narkotika seperti RA hanya akan kembali berulang. Ditambah lagi, program rehabilitasi sebagai upaya pemulihan ternyata masih menimbulkan persoalan secara regulasi dan implementasinya.

Oleh karena itu, kami dari Koalisi Reformasi Kebijakan Narkotika mendesak:

1. Presiden dan DPR merevisi UU Narkotika yang berbasis bukti dan hak asasi manusia;
2. Menghentikan proses hukum dari RA dan memberikan pilihan kepada RA untuk memulihkan kesehatannya; serta
3. Mereformasi kebijakan rehabilitasi dan meningkatkan kapasitas institusi rehabilitasi medis dan sosial yang bernaung di bawah BNN, Kemensos, dan Kemenkes.

Jakarta, 6 September 2020

Hormat kami,
Koalisi Reformasi Kebijakan Narkotika
(Aksi Keadilan Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Anti War on Drugs Groups)

M. Afif Abdul Qoyim (Direktur LBHM)

Leave a Comment