Rilis Pers Komunitas Pengguna Napza – Bongkar Kasus Penyiksaan Hendri Bakari di Batam!

Bagikan:

Facebook
Twitter
WhatsApp
Praktik penegakan hukum yang sarat dengan penyiksaan ini sesungguhnya telah lama disaksikan komunitas pengguna napza di seluruh Indonesia. Peristiwa yang menimpa Hendri ini seakan menjadi bukti sahih atas pengalaman kolektif ini. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang juga memberi sumbangsih pada hal ini.

Rabu, 12 Agustus 2020 – Kematian Hendri Alfred Bakari adalah insiden yang memalukan bagi penegakan hukum Indonesia. Kematian Hendri tidak hanya menunjukkan indikasi perilaku penyiksaan yang sudah membudaya namun juga keengganan institusi untuk melangkah menuju perubahan.

Hendri dibawa ke Polresta Barelang Batam pada 6 Agustus 2020. Pada 7 Agustus, petugas melakukan penggeledahan di rumah Hendri namun tidak ditemukan apapun. Di tanggal 8 Agustus, petugas menjemput istri dan paman Hendri agar mereka menemui Hendri. Saat bertemu dengan Kanit Reskrim, disampaikanlah bahwa Hendri sudah meninggal dunia.

Beberapa hal dalam kasus ini amat terlihat janggal. Pertama, Hendri ditangkap tanpa surat penangkapan. Kedua, surat kematian menunjukkan bahwa Hendri meninggal pada 07.13 WIB namun mengapa keluarga baru diberitahu siang hari dengan dalih untuk menemui Hendri terlebih dahulu. Ketiga, kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Keempat, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.

Kasat Narkoba Polresta Barelang Kompol Abdur Rahman menyatakan bahwa Hendri mengalami sesak nafas. Pernyataan ini patut diperiksa kebenarannya karena apa hubungannya dengan kepala Hendri dibungkus plastik seperti itu? Pihak keluarga kebingungan, karena pihak rumah sakit mengatakan bahwa bungkusan plastik itu dibuat pihak kepolisian sedang pihak kepolisian mengatakan sebaliknya – bahwa bungkusan plastik itu dilakukan pihak rumah sakit.

Hendri selayaknya mendapatkan proses hukum yang prosedural. Hal ini tertulis pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 1 ayat 3 yang menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kepolisian juga sudah sepatutnya menyampaikan surat penangkapan pada Hendri sebagaimana amanat Pasal 18 KUHAP dan Pasal 17 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Peraturan Kapolri yang sama disampaikan pula larangan akan perilaku penyiksaan yang pada kasus ini terindikasi keberadaannya, terutama pada Pasal 5 ayat 1 huruf bb, Pasal 10 huruf e, dan Pasal 11 ayat 1 huruf b.

Praktik penegakan hukum yang sarat dengan penyiksaan ini sesungguhnya telah lama disaksikan komunitas pengguna napza di seluruh Indonesia. Peristiwa yang menimpa Hendri ini seakan menjadi bukti sahih atas pengalaman kolektif ini. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang juga memberi sumbangsih pada hal ini. Upaya pembuktian dalam proses hukum narkotika kerap berat pada aspek pengakuan tersangka, yang tidak jarang diupayakan lewat praktik penyiksaan.

Terkait kasus ini, Kabid Humas Polda Kepulauan Riau Kombes Harry Goldenhart Santoso menyatakan, “Dia adalah pengedar, kurir narkoba. Narkoba kan musuh kita semua.” Pernyataan tersebut menunjukkan aspek lain yang tidak kalah penting dalam kasus ini yakni demonisasi narkotika. Demonisasi ini seakan mengijinkan pembuat Undang-Undang untuk membentuk regulasi tanpa basis bukti dan hak asasi manusia serta permisif pada praktik penegakan hukum yang tidak sesuai prosedur dan mengandalkan penyiksaan.

Karena dalam beberapa hari ini, pihak Kepolisian tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan kasus ini secara profesional, kami dari Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), Banten Drug Policy Reform, Forum Akar Rumput Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Persaudaraan Korban Napza Kepulauan Riau (PKN Kepri), dan Yayasan Embun Pelangi mendesak:

1. Polri untuk menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur dan melakukan penyiksaan,
2. Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman untuk melakukan investigasi mandiri pada kasus ini untuk menekan Polri, memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar hal serupa tidak terjadi lagi, dan
3. Pemerintah dan Parlemen untuk mendekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika dalam jumlah kecil agar mereduksi masifnya pendekatan hukum pidana terhadap permasalahan narkotika.

Narahubung:
Yohan Misero (Koordinator Advokasi dan Kampanye AKSI)
M. Afif Abdul Qoyim (Direktur LBHM)
Holan Tobing (Koordinator Program Yayasan Embun Pelangi)

Leave a Comment